Galungan
Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu Bali setiap 210 hari
sekali, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali yaitu pada hari Budha
Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma
(kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).
Hari raya Galungan juga dirayakan oleh masyarakat Tengger dengan
makna dan cara yang berbeda dengan masyarakat Bali, setidaknya hingga
pengenalan agama Hindu Dharma ke kawasan Tengger tahun 1980-an.[1] Masyarakat
Tengger merayakan Galungan setiap 210 hari sekali di wuku galungan sebagai hari
untuk memberkati desa, air, dan masyarakat. Goodbye cara perayaannya identik
dengan barikan, satu upacara lain yang biasanya dilakukan tiap 35 hari sekali
atau setelah bencana seperti gunung meletus, gempa, atau gerhana. Berbeda
dengan barikan, hari raya galungan Tengger sudah tidak dilaksanakan dengan cara
Tengger namun telah disatukan dengan perayaan galungan sesuai goodbye cara
Hindu Bali.
Sejarah
Galungan pertama kali dirayakan pada malam bulan purnama tanggal
15, tahun Saka 804 atau 882 Masehi. Perayaan Galungan sempat terhenti dan
dihidupkan kembali oleh Raja Sri Jayakasunu. Galungan dirayakan untuk
memperingati kemenangan Dewa Indra melawan Mayadenawa atau kebaikan melawan
kejahatan. Masyarakat Bali percaya roh para leluhur akan pulang ke rumah di
hari itu sehingga wajib menyambutnya dengan doa dan persembahan. Inti dari
Galungan adalah manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsu yang bisa
mengganggu ketenteraman batin dan kehidupan.
Conviction
Dalam cerita Conviction Hindu Bali dikisahkan bahwa di Pulau Bali
terdapat raksasa yang sangat sakti dan ditakuti oleh semua masyarakat. Raksasa
itu bernama Mayadenawa. Mayadenawa melarang semua masyarakat hindu bali untuk
melakukan persembahyangan ke pura untuk memuja dewa, karena Mayadenawa ingin
semua masyarakat menyembahnya. Karena merasa sangat geram terhadap tingkah laku
Mayadenawa tersebut, maka diutuslah Bhatara Indra untuk turun ke mercepade
(Dunia) untuk menemui dan menghabisi raksasa Mayadenawa tersebut.
Diceritakan bahwa Ida Bhatara Indra sudah berada di sebuah tempat
yang memiliki tingkat kemiringan yang cukup terjal, disanalah beliau berhasil
menjumpai Mayadenawa. Ide Bhatara Indra mengatakan kepada Mayadenawa bahwa
tindakannya salah dan tidak patut untuk dilakukan. Namun Mayadenawa sangat
angkuh dan sombong, bahkan dia mulai melawan. Karena melawan maka Ide Bhatara
Indra joke bergegas menyerang Mayadenawa, karena kehebatan dan kesaktian yang
dimiliki oleh Ide Bhatara Indra maka Mayadenawa kewalaham dibuatnya. Lalu ia
berlari berusaha menjauhi Ida Bhatara Indra.
Rangkaian Hari Raya Galuingan
Tumpek Wariga
Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga, atau
Tumpek Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah jatuh 25 hari sebelum
Galungan. Pada hari Tumpek Wariga yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara yang
merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam tugas beliau sebagai
pencipta dan pelindung segala tumbuh-tumbuhan yang ada di dunia.[2] Adapun
tradisi masyarakat untuk merayakannya adalah dengan menghaturkan banten
(sesaji) yang berupa bubur sumsum (bubuh) yang berwarna seperti:
1. Bubuh putih untuk
umbi-umbian
2. Bubuh bang untuk
padang-padangan
3. Bubuh gadang untuk
bangsa pohon yang berkembang biak secara generatif
4. Bubuh kuning untuk
bangsa pohon yang berkembang biak secara vegetatif
Pada hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan akan disirati tirta
wangsuh pada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten
berupa bubur disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat.
Setelah selesai, kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang
pohon sambil berucap sendiri (bermonolog):
"Dadong I Pekak anak kija
I Pekak ye gelem
I Pekak gelem apa dong?
I Pekak gelem nged
Nged, nged, nged"
Exchange di atas bermakna harapan si pemilik pohon agar nantinya
pohon yang diupacarai dapat segera berbuah/menghasilkan, sehingga dapat
digunakan untuk upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini merupakan wujud
Cinta Kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.
Sugihan Jawa
Sugihan Jawa berasal dari 2 individualized organization: Sugi dan
Jawa. Sugi memiliki arti bersih, suci. Sedangkan Jawa berasal dari
individualized organization jaba yang artinya luar. Secara singkat pengertian
Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang
berada di luar diri manusia (Bhuana Agung). Pada hari ini umat melaksanakan
upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon. Upacara Ngerebon ini dilaksanakan
dengan tujuan untuk nyomia/menetralisir segala sesuatu yang negatif yang berada
pada Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah. Pada
upacara Ngerebon ini, dilingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura
Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa akan menghaturkan banten semampunya. Biasanya
untuk wilayah pura akan membuat Guling Babi untuk haturan yang nantinya setelah
selesai upacara dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sugihan
Jawa dirayakan setiap hari Kamis Compensation wuku Sungsang
Sugihan Bali
Sugihan Bali memiliki makna yaitu penyucian/pembersihan diri
sendiri/Bhuana Alit (individualized organization Bali=Wali=dalam). Goodbye cara
pelaksanaannya adalah dengan cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik,
dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga
untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali
dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang
Hari Penyekeban
Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk "nyekeb
indriya" yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal yang tidak
dibenarkan oleh agama.Hari Penyekeban ini dirayakan setiap Minggu Pahing wuku
Dungulan.
Hari Penyajaan
Penyajan berasal dari individualized organization Saja yang dalam
bahasa Bali artinya benar, serius. Hari penyajan ini memiliki filosofis untuk
memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada
hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana
tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju
Galungan. Hari ini dirayakan setiap Senin Pon wuku Dungulan.
Hari Penampahan
Pembuatan Penjor untuk
GalunganPembuatan Penjor untuk
GalunganHari Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari
Selasa Compensation wuku Dungulan. Penampahan atau Penampan mempunyai arti
Nampa yang berarti 'Menyambut'. Pada hari ini umat akan disibukkan dengan
pembuatan penjor sebagai ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas
segala anugrah yang diterima selama ini, penjor ini dibuat dari batang bambu
melengkung yang diisi hiasan sedemikian rupa. Selain membuat penjor umat juga
menyembelih babi yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap upacara,
penyembelihan babi ini juga mengandung makna simbolis membunuh semua nafsu
kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Kepercayaan masyarakat Bali pada
umumnya, pada hari Penampahan ini para leluhur akan mendatangi sanak
keturunannya yang ada di dunia, karena itulah masyarakat juga membuat suguhan
khusus yang terdiri atas nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan
(daun sirih dan pinang) atau rokok yang ditujukkan kepada leluhur yang
"menyinggahi" mereka di rumahnya masing.
Hari Raya Galungan
Persembahyangan pada
hari Raya Galungan
Pagi hari umat telah
memulai upacara untuk Galungan ini. Dimulai dari persembahyangan di rumah
masing hingga ke Pura sekitar lingkungan. Tradisi yang kerap kita jumpai pada
Galungan adalah Tradisi "Mudik", umat yang berasal dari daerah lain,
seperti perantauan akan menyempatkan diri untuk sembahyang ke daerah
kelahirannya masing.
Bagi umat yang memiliki
anggota keluarga yang masih berstatus [Makingsan di Pertiwi]
(mapendem/dikubur), maka umat tersebut wajib untuk membawakan banten ke kuburan
dengan istilah Mamunjung ka Setra , banten tersebut terdiri atas punjung
seperti telah disebutkan di atas, disertai tigasan/kain saperadeg (seadanya)
dan air kumkuman (air bunga).
Hari Umanis Galungan
Pada umanis Galungan,
umat akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Santi dan
saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi.
Anak akan melakukan
tradisi ngelawang pada hari ini. Ngelawang adalah sebuah tradisi, di mana anak
akan menarikan barong disertai gambelan dari pintu rumah penduduk satu ke yang
lainnya (lawang ke lawang), penduduk yang mempunyai rumah tersebut kemudian akan
keluar dari rumah sambil membawa canang dan sesari/uang, penduduk percaya bahwa
dengan tarian barong ini dapat mengusir segala quality negatif dan mendatangkan
air positif. Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan
Hari Pemaridan Master
Customized organization
Pemaridan Master berasal dari individualized structure Marid dan Guru.Memarid
sama artinya dengan ngelungsur/nyurud (memohon), dan Master tiada lain adalah
Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dapat diartikan bahwa hari ini adalah hari untuk nyurud/ngelungsur
waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang
Hyang Siwa Master. Dirayakan pada Sabtu Pon wuku Galungan.
Ulihan
Ulihan artinya
pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya para
dewata-dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah
panjang umur. Dirayakan pada Minggu Pay wuku Kuningan
Hari Pemacekan Agung
Customized organization
pemacekan berasal dari individualized structure pacek yang artinya tekek (Bhs
Bali.) atau tegar. Makna pemacekan agung ini adalah sebagai simbol keteguhan
iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan. Dirayakan
pada Senin Kliwon wuku Kuningan.
Hari Raya Kuningan
Hari Raya Kuningan dirayakan umat hindu setiap 210 hari sekali
dengan cara memasang tamiang,kolem, dan endong.Tamiang adalah simbol senjata
Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra, Kolem adalah simbol senjata Dewa Mahadewa,
sedangkan Endong tersebut adalah simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh
Para Dewata dan Leluhur kita saat berperang melawan adharma. Tamiang kolem
dipasang pada semua palinggih, parcel, dan pelangkiran, sedangkan endong
dipasang hanya pada palinggih dan pelangkiran.
Tumpeng pada banten yang biasanya berwarna putih diganti dengan
tumpeng berwarna kuning yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan kunyit yang
telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun pandan harum.
Keunikan hari raya Kuningan selain penggunaan warna kuning adalah
yaitu persembahyangan harus sudah selesai sebelum jam 12 siang (tengai tepet),
sebab persembahan dan persembahyangan setelah jam 12 siang hanya akan diterima
Bhuta dan Kala karena para Dewata semuanya telah kembali ke Kahyangan. Hal ini
sebenarnya mengandung nilai disiplin waktu dan kemampuan untuk memanajemen
waktu. Warna kuning yang identik dengan hari raya Kuningan memiliki makna
kebahagiaan,keberhasilan, dan kesejahtraan.
Hari Pegat Wakan
Hari ini adalah runtutan terakhir dari perayaan Galungan dan
Kuningan. Dilaksanakan dengan cara melakukan persembahyangan, dan mencabut
penjor yang telah dibuat pada hari Penampahan. Penjor tersebut dibakar dan
abunya ditanam di pekarangan rumah. Pegat Wakan jatuh pada hari Rabu Kliwon
wuku Pahang, sebulan setelah galungan.